VIVAnews - Dua tahun sudah Kabupaten Kayong Utara (KKU) terbentuk di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Undang-undang N0. 6 Tahun 2007. Selama dua tahun berlalu, telah banyak perubahan yang terjadi dan dapat terlihat mata, paling tidak secara fisik.
Jika dulu pembangunan infrastruktur di lima kecamatan yang membentuk KKU seret, sekarang geliat itu mulai nyata. Berbagai jaringan jalan kabupaten yang dulunya rusak atau masih berupa jalan tanah, sekarang sudah mulai diperbaiki (kecuali jalan ruas Teluk Batang yang merupakan jalan provinsi).
Infrastruktur pendidikan pun mulai dibenahi, demikian juga dengan fasilitas Puskesmas yang direncanakan hendak dijadikan sebagai medical center, Pustu, Poskesdes dan fasilitas medis lainnya.
Gedung-gedung pemerintahan secara bertahap juga mulai dibangun. Intinya secara fisik geliat pembangunan mulai tampak nyata, terlebih lagi untuk dua bidang yang diutamakan berdasarkan visi dan misi bupati saat ini yakni pendidikan dan kesehatan.
Ini merupakan sesuatu yang secara jujur patut diapresiasi, apalagi sebagai kabupaten yang terhitung baru. Saat ini misi untuk mewujudkan pendidikan dan kesehatan gratis tampak mulai terimplementasikan, para siswa dari sekolah dasar hingga SLTA selama dua tahun terakhir sudah tidak dibebankan lagi pungutan apapun mulai dari masuk sampai proses belajarnya berjalan.
Pakaian pun ditanggung oleh Pemkab, demikian juga buku dipinjamkan langsung oleh Pemkab. Sedangkan untuk kesehatan, Puskesmas Sukadana sudah mulai dioperasikan untuk melayani pasien 24 jam, menyusul puskesmas-puskesmas lainnya seiring rencana dijadikan sebagai medical center tersebut.
Pelayanannnya juga tidak dibebankan sepeserpun. Tentunya sebagai kabupaten baru, tidak berarti geliat pembangunan di KKU bukan tanpa kekurangan.
Sebagai orang awam di KKU, saya mencoba mengkritisi beberapa hal yang mestinya harus diperbaiki agar pembangunan di KKU baik itu tata pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan publik, pemenuhan hak-hak dasar, pengembangan potensi dan sebagainya di KKU berjalan semakin baik.
Sebagai warga biasa, saya coba berbagi cerita agar ke depan perbaikan-perbaikan itu kian nyata. Di bidang pendidikan, cerita pendidikan gratis tentunya dalam upaya menekan angka putus sekolah masyarakat KKU yang masih tergolong tinggi, hal ini sebagai stimulan agar tiada lagi alasan bagi para orang tua di KKU untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya karena alasan ketiadaan biaya untuk memperoleh pendidikan.
Tentunya ini adalah bagian dari kebijakan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat di bidang pendidikan. Dilihat dari factor ekonomi, dengan digratiskannya pendidikan yang berujung pada tiadanya pungutan dan ditanggungnya semua biaya oleh Pemkab, tentu sangat membantu.
Namun, kebijakan ini harus juga ditunjang dengan kebijakan yang lain untuk menuntaskan faktor-faktor penyebab putus sekolah lainnya. Karena faktor ekonomi bukan penyebab satu-satunya putus sekolah yang masih tinggi. Faktor kultural secara umum seperti pola pikir orang tua juga berpengaruh terhadap melanjutkan atau putus sekolahnya anak-anak mereka.
Karena masih banyak orang tua yang memiliki pola pikir bahwa pendidikan itu dianggap kurang penting, kemudian juga setengah memaksa anaknya membantu mencari nafkah, seperti di wilayah pedalaman yang masyarakatnya hidup menggarap lahan pertanian dan jauh dari jangkauan fasilitas pendidikan, atau di daerah kepulauan yang anak-anaknya terpaksa ikut melaut bahkan bekerja di jermal-jermal, ini harus ditangani.
Bahkan secara kultural juga ada orangtua yang memang tidak ingin anaknya melanjutkan sekolah karena alasan tertentu, ini merupakan sebagian dari faktor penyebab anak putus sekolah.
Dalam hal ini orang tua yang tidak begitu memperhatikan pendidikan sang anak atau tidak begitu memahami makna penting pendidikan juga menyumbang terhadap kemungkinan putus sekolah sang anak.
Lokasi fasilitas sekolah yang jauh, tidak terjangkau, tenaga pengajar yang kurang juga menjadi faktor penyebab putus sekolah oleh karena itu, selain menerapkan kebijakan pendidikan murah nan gratis termasuk menyediakan fasilitas pendidikan yang terjangkau dan menyediakan tenaga pengajar yang siap sedia untuk terjun berjuang ditempatkan di mana saja (bukan yang hanya mengejar status PNS kemudian numpuk di daerah perkotaan).
Maka agenda lain yang tak kalah pentingnya, bahkan termasuk sangat penting dalam upaya menekan angka anak putus sekolah adalah mengubah pola pikir yang menganggap enteng pendidikan, dan menanamkan pola pikir baru kepada para orang tua bahwa pendidikan itu penting terutama bagi masa depan anak-anak mereka.
Di bidang kesehatan, juga kerap muncul masalah, meskipun berobat ke Puskesmas dan Pustu telah gratis, tetapi masih banyaknya praktik jual beli obat oleh tenaga medis kepada masyarakat yang berobat secara pribadi ke rumah paramedis dengan bayaran yang masih tergolong mahal kerap terjadi, sehingga merusak image kesehatan gratis, juga masih sering ditemukannya paramedis yang enggan mengisi pos-pos yang mana seharusnya mereka ditempatkan.
Kemudian masih sering ditemukannya kasus gizi buruk, warga mengidap penyakit dan perlu penanganan lebih lanjut dan sebagainya yang masih abai dan tak terperhatikan oleh instansi terkait. Di bidang-bidang yang lain, yang perlu dikritisi dan perlu kemauan serta kerja keras untuk maju adalah seperti bidang pariwisata.
KKU sangat kaya dengan potensi wisata, tapi sampai saat ini setelah dua tahun berlalu, belum pernah sekalipun saya melihat ada program sosialisasi yang jelas untuk mempromosikan potensi itu, belum pernah terlihat seperti brosur dan profil daerah wisata KKU yang bisa di informasikan. Pengembangan dan pemberdayaan potensi wisata yang adapun masih terkategori jalan di tempat.
Sehingga belum banyak orang yang kenal tentang potensi wisata KKU, belum banyak yang tahu bahwa KKU memiliki situs-situs sejarah yang kaya seperti makam-makam Raja Tanjungpura, makam-makam raja Simpang, makam-makam Raja Sukadana, ada meriam-meriam kuno, ada Tangsi Militer Belanda, ada makam-makam Penyebar Agama Islam, ada situs alam purba seperti Rock Painting, ada wisata alam, ada wisata kuliner, ada wisata bahari dan seterusnya.
Di bidang seni, adat budaya dan tradisi, sebagai daerah yang pernah memiliki sejarah dua kerajaan dan neo-swapraja, KKU sebenarnya memiliki seni, adat budaya dan tradisi yang potensial dan tentunya harus menjadi karakteristik daerah, tapi sampai saat ini saya belum melihat apa yang unik dari budaya masayarakat KKU yang telah coba digali dan dikembangkan.
Padahal dalam bidang ini, bukannya tidak ada seni, adat budaya dan tradisi yang dapat direvitalisasi, tapi keseriusan untuk menggali potensi itu yang belum ada atau belum terfikirkan mungkin. Ssebagai contoh, semasa kecil, di desa saya setiap kegiatan tujuh belasan, biasanya selalu ada pementasan drama Sandiwara Mendu, tapi sekarang sudah hampir punah karena sudah belasan tahun tidak dikembangkan.
Seni hadrah, tar, tundang dan sebagainya perlahan juga sudah mulai hilang. Belum lagi seni adat budaya dan tradisi perkawinan yang unik seperti adat perkawinan masyarakat Simpang yang juga memudar.
Hal lainnya dapat terlihat dari karakteristik bangunan, tidak ada satupun upaya merekonstruksi dan merevitalisasi seperti apa bangunan khas KKU berdasarkan karakteristik arsitektur dari dua kerajaan yang ada.
Jangan sampai kita membangun tanpa ruh budaya, sehingga kehilangan identiti sebagai masyarakat kayong di tanah kayong bertuah ini. Di bidang kelautan dan perikanan, meski selalu digaungkan sebagai daerah penghasil ikan dan memiliki SDA laut yang melimpah, harus dikatakan masih tak nampak pengembangan potensi kelautan dan perikanan yang berarti.
Mau diapakan dan mau dikemanakan potensi yang ada ini? Kerap menjadi pertanyaan dan bahan diskusi warung kopi, toh nelayan tetap saja masih banyak yang miskin, kebingungan pemasaran hasil laut, kesulitan mendapatkan permodalan dan bantuan serta pembinaan.
Demikian juga halnya di bidang pertanian, revitalisasi pertanian belum juga menunjukkan ada tanda-tanda progresifitas. Berapa jumlah hasil pertanian pertahun belum dapat terukur, sentra-sentra pertanian belum tertangani dengan baik, masyarakat petani belum diberdayakan maksimal sehingga dapat lebih sejahtera.
Hasil tani baru sebatas untuk makan setahun, jikapun lebih terpaksa jual dengan harga murah kepada pengumpul karena belum ada campur tangan pemerintah dalam melindungi harga gabah.
Penyuluh lapangan yang ada juga lebih berperan sebagai birokrat dan saudagar ketimbang sebagai ‘kawan’ bagi para petani, traktor masih disewakan, pupuk terkadang dijual dan sebagainya.
Di bidang perkebunan dominasi perkebunan besar masih terlalu kuat. Perkebunan rakyat tidak terberdayakan, instansi terkait baru sebatas mengumpulkan data semata, itupun mungkin belum kelar, tanpa ada upaya pemberdayaan secara riil.
Akibat perkebunan besar, akhirnya terkait pula pada persoalan lingkungan, terjadi perubahan fungsi hutan dan lahan, sekarang lahan konservasipun terancam, kelestarian lingkungan hidup terancam, orang utan sekarang sudah turun gunung karena wilayah mereka sudah mulai dirusak.
Begitu juga karena tata ruang dan wilayah masih belum jelas, bangunan walet tanpa aturan muncul membuat ketertiban dan keindahan berantakan. Tak jelas mana daerah yang bakal dikembangkan untuk pemukiman, pasar, perkantoran dan mana yang boleh untuk budidaya walet.
Sumber : • VIVAnews